Oleh Andik Hidayat
Mahasiswa Sampoerna School of Education, Jakarta
Sistem dan standar Ujian Nasional (UN) telah membuat semua elemen pendidikan tertekan. Bagaiman tidak? Mulai dari para siswa, orang tua, guru bahkan para pihak yang mempunyai wewenang pun dibuat tak berdaya. Perbaikan pun dilakukan, untuk membuat sistem ini tidak lagi menuai kritik dari para pelaku dunia pendidikan. Lalu, sistem apakah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia?
Pertanyaan diatas masih sulit untuk dijawab karena Ujian Nasional yang kata sebagian orang sudah sesuai tapi masih menjadi kontroversi untuk diterapkan di Indonesia. Sebagai perbandingan mari kita lihat hasil dari PISA (The Programme for International Student Assessment). Siswa Finlandia yang tidak mengenal adanya ujian kelulusan mampu membuktikan diri sebagai yang terbaik dengan mencatat prestasi yang gemilang. Mereka hanya menempuh ujian matrikulasi, satu-satunya ujian yang berskala nasional di Finlandia. Ujian itu digunakan sebagai syarat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi.
Di Indonesia sendiri dengan adanya ujian nasional malah membuat beberapa masalah yang tak kunjung usai. Salah satunya adalah efek dari ujian nasional itu sendiri. Jika kita mengacu pada ujian nasional pada tahun-tahun sebelumnya, tentunya kita khawatir akan masa depan generasi penerus bangsa. Setiap kali pemerintah mengumumkan hasil ujian nasional, tentu ada siswa yang gagal melewati ujian nasional dan hal itulah yang membuat kita khawatir. Siswa yang tidak berhasil lulus ujian nasional, depresi dan mengambil langkah yang salah, bahkan ada yang sampai mau bunuh diri. Lalu, dimana tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pendidikan yang layak kepada seluruh anak Indonesia. Sedangkan efek dari Ujian Nasional membuat masa depan beberapa generasi penerus bangsa terancam.
Dalam hal ini, bagi siswa yang mampu melewati ujian nasional pasti sangat gembira. Tapi, hal itu tidak bisa dijadikan sebagai ukuran bahwa yang mampu melewati ujian nasional lebih pandai daripada mereka yang tidak mampu melewati ujian nasional. Sedangkan sistem yang ada mempermudah mereka ( para oknum) berbuat curang untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan. Disamping itu, model dari ujian nasional sendiri adalah pilihan ganda dan hal itu tidak bisa memunculkan kreatifitas siswa atau High Order Thinking Skill (HOTS) mereka tidak diuji secara maksimal. Ada juga unsur spekulasi, istilahnya untung-untungan karena hanya ada 5 jawaban yang tersedia dalam pilihan ganda tersebut dan itu diwakili dengan huruf alphabet. Human error juga bisa terjadi, misalnya kurang penuh dalam melingkari jawaban juga bisa jadi masalah mereka tidak lulus.
Pada saat penerimaan siswa baru, spanduk terpampang dimana-mana layaknya kampanye partai politik. Semua sekolah berlomba-lomba untuk menonjolkan kualitasnya masing-masing. “LULUS 100%” itulah kalimat yang mempunyai ukuran berbeda dan tercetak tebal. Faktanya tulisan itu mampu menarik hati para calon siswa untuk mendaftar. Tulisan itu serasa dijadikan sebagai acuan kualitas sekolah. Padahal belum tentu sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100% mempunyai kualitas yang baik pula. Kita tahu, ujian nasional rentan akan kecurangan
Kecurangan terjadi dimana-mana, para oknum guru berusaha untuk meluluskan semua anak didiknya dengan segala cara. Walaupun harus mengotori profesi mulianya sebagai seorang guru. Bahkan ada oknum guru yang menyeleksi siswa yang mempunyai prestatasi akademik cukup bagus. Lalu setelah itu, mereka diberikan jam tambahan sebagai persiapan menghadapi ujian nasional. Tapi, yang membuat saya heran adalah guru tersebut memberikan perintah kepada siswa pilihan tersebut untuk memberikan jawaban mereka ke siswa yang lain. Apakah itu tindakan terpuji? Saya rasa anda sudah tahu apa jawabannya.
Nilai-nilai pancasila yang sudah diajarkan serasa tak ada gunanya lagi jika kita mendengar kejadian seperti ini. Seorang guru yang seharusnya menjadi pendidik tapi malah memberikan contoh yang bertolak belakang dengan nilai-nilai pancasila. Para oknum guru itu mungkin mempunyai alasan sendiri. Misalnya, mereka melakukan hal ini karena mereka mempunyai tujuan yang baik, yaitu agar semua siswanya lulus. Tapi apakah ini tujuan diadakannya ujian nasional di Indonesia? Bukankah tujuannya adalah sebagai alat pengukur keberhasilan siswa. Jika keadaan dilapangan seperti itu, dan data yang didapatkan juga tidak sesuai dan tidak valid. Bisakah kita menyebut kalau ujian nasional yang sudah dilakukan selama ini berhasil?
Dalam hal ini, kapasitas seorang guru dipertanyakan. Bagi sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100% dianggap sekolah yang berkualitas, begitu pula para gurunya. Para guru seakan bersaing untuk meluluskan semua siswanya. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, apa yang akan terjadi dengan pendidikan Indonesia selanjutnya. Lalu, pertanyaan pun muncul, Akankah hakikat pendidikan di Indonesia masih sama dengan yang dulu? Yaitu untuk mencerdaskan semua anak bangsa. Yang ada, dengan adanya sistem seperti ini hanya akan menghancurkan hakikat pendidikan yang sebenarnya di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia sekarang lebih mengajarkan siswa untuk berorientasi dengan nilai. Padahal, proses yang dijalanilah yang lebih penting karena disitulah siswa belajar. Nah, dengan adanya ujian nasional yang dijadikan sebagai penentu kelulusan maka mau tidak mau siswa akan lebih fokus dalam ujian nasional. Mereka akan lebih fokus dalam mengejar nilai dan mereka akan berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus agar lulus. Pada dasarnya ujian nasional masih bisa dilakukan di Indonesia sebatas sebagai pengukur keberhasilan siswa bukan sebagai penentu kelulusan siswa. Pihak sekolah seharusnya juga diberikan hak untuk memberikan suaranya dalam menentukan kelulusan siswa. Pihak sekolah juga lebih mengetahui kemampuan siswa siswanya dibandingkan dengan pemerintah.
Pada penyelenggaraan ujian nasional tahun ini, Mendiknas sudah membuat beberapa revisi tentang aturan ujian nasional. Salah satunya 60 % kelulusan siswa di tentukan oleh pemerintah yaitu lewat ujian nasional sedangkan yang 40% lagi menjadi hak milik sekolah. Revisi demi revisi sudah dilakukan untuk memperbaiki sitem yang sudah menekan pendidikan Indonesia. Kita tunggu saja hasil pada Ujian Nasional (UN) tahun ini.
Pendidikan di Indonesia akan jadi lebih baik jika semua pelaku pendidikan mendapatkan hak untuk berpendapat. Pemerintah juga seharusnya lebih terbuka dalam menerima semua aspirasi rakyat karena itu juga untuk kemajuan bersama. Semoga saja hal ini menjadi langkah yang positif untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, mengingat pendidikan adalah fondasi utama sebuah bangsa.
Happy Reading ^_^